DHARMASRAYA.SUMBAR
Oleh : Gamawan Fauzi
Sumbar.Ovumnews.com--Selepas fajar, satu hari di penghujung 2024, saya berangkat menuju jorong Batang Hari, nagari Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. Diusia melewati 67 tahun, belum sekalipun saya berkunjung ke sana, meskipun nagari ini adalah kampung ibu saya. Orang menyebut bahwa itulah sesungguhnya hulu dari Sungai Batang Hari yang kemudian terus membesar menampung air berbagai anak sungai yang bertemu dengannya.
Sesampai di sana, saya melihat hulu sungai Batang Hari tak lebih dari sebuah kali kecil yang airnya berasal dari danau Diatas yang mengalir ke arah timur, ke Lubuak Batu Gajah, terus ke Titian Panjang, Lubuak Batu Kuniang nagari Lolo, selanjutnya ke Surian, lalu ke Muaro Labuah dan Sangir. Sesampai di Sangir, sungai ini sudah besar dan dalam, apalagi setelah bertemu sungai Batang Gumanti, dan kemudian memasuki daerah Pulau Punjung lalu melintas jalan Lintas Sumatera dan terus mengalir ke wilayah Provinsi Jambi.
Saat menjadi Bupati Solok, pada tahun 2000, saya berkesempatan menelusuri sungai itu ke arah hulunya menggunakan “tempek”, perahu kecil tak bercadik _(tangan perahu untuk menjaga keseimbangan)._ Kami berperahu dengan pengemudi yang menggunakan galah panjang dari bambu atau kayu, terasa menyenangkan dan sangat alami. Kiri kanan sungai itu adalah hutan lebat yang subur, sebagian berada dalam wilayah Sinjunjung, sebagian berada di Kabupaten Solok, wilayah yang saya pimpin saat itu sebagai bupati.
Beragam pikiran muncul di benak saya tentang betapa kayanya daerah ini bila dikelola dan diberdayakan _(empowering)_ dengan benar untuk kemakmuran rakyat. Di sana terdapat sejumlah goa berisi sarang walet, hutan kayu dengan pohon berdiameter lebar dan tinggi.
Sepanjang pinggir sungai banyak orang mendulang atau menambang emas menggunakan peralatan seadanya. Belakangan saya dengar di beberapa titik sudah dieksploitasi dengan menggunakan alat berat secara _illegal._
Di beberapa kawasan sudah mulai dikembangkan perkebunan sawit, terutama di lahan yang relatif flat dan ketinggian di bawah 700 meter dpl. Waktu itu saya berpikir, wilayah Solok bagian selatan dan Sijunjung belahan selatan dan timur ini benar benar merupakan daerah masa depan ekonomi Sumatera Barat yang menjanjikan.
Saat itu Jembatan Sungai Dareh, masih seperti jembatan umumnya yang punya bentangan lebar. Itupun sudah merupakan sebuah lompatan kemajuan, sebab berpuluh tahun sebelumnya, sarana transportasi dihubungkan dengan rakit kayu yang disebut “pelayangan”.
Tahun pun berubah, musim berganti. Pemikiran tak sekali tumbuh. Di tahun 2004, bersamaan dengan Kabupaten Solok, maka Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung melakukan pemekaran. Dalam adat disebut “baju gadang basibak”. Kabupaten Solok dibagi menjadi Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan, sementara Sawahlunto/Sijunjung menjadi Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Dharmasraya.
*Gadjah Mada hingga Yogya Kembali*
Dharmasraya, adalah nama yang sudah lama dikenal dalam sejarah Minangkabau dan sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara. Kerajaan ini hingga abad ke-13 merupakan kerajaan besar dan populer dalam sejarah perjalanan bangsa, pendahulu dari Malayapura atau Kerajaan Minangkabau Pagaruyung yang didirikan Adityawarman. Karenanya, ketika nama itu dipilih sebagai nama kabupaten ini, dalam hati saya mengatakan, bahwa pilihan nama itu adalah pilihan yang tepat dan cerdas.
Pandai betul tokoh tokoh masyarakat dan pemerintah daerah memilih nama itu. Dengan nama itu tentu akan dapat menyemangati jiwa masyarakat untuk memajukan kesejahteraan mereka dengan bertolak dari semangat kejayaan masa lalu atau kegemilangan yang pernah dicapai.
Saya pernah membaca dalam sepenggal tulisan, bahwa pada saat rombongan Majapahit (Singosari) datang ke Minangkabau, mereka melewati daerah Dharmasraya dan terus ke Pagaruyung. Saat berada di wilayah Dharmasraya, rombongan tersebut menemukan seorang pemuda kekar, kuat dan kebal senjata tajam, namanya Gajah Mada. Lalu sosok Gajah Mada dibawa pasukan Majapahit ke pusat kerajaan di Jawa Timur. Di sana ia menjadi tokoh sangat penting dalam menjayakan kerajaan tersebut.
Saat menjabat Menteri Dalam Negeri, saya sempat berkunjung ke Mojokerto, daerah bekas pusat kebudayaan Majapahit. Kebetulan Kordinator Staf Ahli saya, Kolonel Dr. Didik Suprayitno, berasal dari sana. Saya ingin mencari tau, apakah mereka mengenal dari mana asal nama Gajah Mada? Apakah mereka tau orang mana Gajah Mada? Tapi tak seorang pun saat itu dapat menjelaskan kepada saya.
Selanjutnya dengan sedikit guyon saya mengatakan bahwa Gajah Mada itu adalah orang Minang. Sebagai bukti, saya katakan, bahwa gajah tidak ada di Pulau Jawa, dan orang Jawa menyebut “gajah” dengan “liman”. Kata “mada” juga tidak ada dalam dalam kosa kata bahasa Jawa, melainkan hanya ada dalam bahasa Minang. Jadi menurut saya, Gajah Mada, Maha Patih Majapahit masa raja Hayam Wuruk itu adalah asli orang Minang. Mada berarti kebal, bandel dan kuat, sementara gajah adalah sosok binatang yang kuat dan besar yang hanya ada di Sumatera.
Pertanyaan yang mirip pernah juga saya tanya kepada orang Yogyakarta saat melihat “Monumen Yogya Kembali” yang terletak di jantung Kota Yogya. “Dari mana kembalinya?” Tanya saya. Mereka juga tidak tau. Tidak hanya satu orang, beberapa orang saya tanya, dan mereka menjawab tidak tau. Lalu saya katakan bahwa kembalinya itu dari Sumatera Barat.
Saya ceritakan, bahwa saat terjadi Agresi II Militer Belanda tanggal 19 Desember 1948, Yogya jatuh ke tangan Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta, presiden dan wakil presiden, serta sejumlah pejabat tinggi RI ditawan Belanda lalu diasingkan ke Brastagi dan Bangka.
Di saat-saat genting itu, ketika RI terancam kehilangan kedaulatan, Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. Tengku Mohammad Hassan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid dan para pemimpin di Sumatera berinisiatif membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Setelah mengumumkan Kabinet PDRI di Nagari Halaban, lalu Syafruddin melalui pemancar radio YBJ6 berhasil mengumandangkan ke dunia internasional bahwa “Indonesia masih ada”. Maka selamatlah Republik Indonesia yang baru mardeka seumur jagung.
Tujuh bulan kemudian, sebagai hasil perjuangan gerilya untuk mempertahankan RI yang dipimpin Syafruddin di Sumatera dan Jenderal Soedirman di Jawa, serta perjuangan diplomasi internasional, Belanda terpaksa meninggalkan Yogyakarta. Bersamaan dengan itu, Bung Karno dan Bung Hatta dibebaskan dan kembali ke Yogya pada 6 Juli 1949. Tiga hari kemudian, delegasi yang dipimpin Mohammad Natsir, dr. Leimena dan dr. Abdul Halim, bertolak ke Padang dan terus ke Padang Japang di Kabupaten Limapuluh Kota guna menjemput Syafruddin Prawiranegara dan kawankawan untuk kembali ke Yogya.
Bersama Panglima Besar Soedirman, pada tanggal 13 Juli 1949 Syafruddin mengembalikan mandat pimpinan pemerintahan RI kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Untuk memperingati peristiwa maha penting itu, yaitu kembalinya pemerintahan yang berdaulat dari Sumatera Barat ke Yogyakarta, maka didirikanlah “Monumen Yogya Kembali” itu.
Berkaitan dengan peristiwa sejarah itu, ketika menjadi Gubernur Sumatera Barat tahun 2006, saya mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadikan hari lahir PDRI sebagai “Hari Besar Nasional”. Alhamdulillah, permohonan yang didukung masyarakat Sumatera Barat itu dikabulkan.
Dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29 Tanggal 14 Desember 2006, maka tanggal 19 Desember, yaitu hari lahirnya PDRI di Bukittinggi, ditetapkan menjadi “Hari Bela Negara” sebagai “Hari Besar Nasional” setara dengan Hari Pahlawan 10 November.
Ketika cerita sejarah itu saya sampaikan kepada beberapa orang yang saya temui di Yogyakarta, bahwa “Monumen Yogya Kembali” itu adalah tanda kembali dari Sumatera Barat, mereka mangut-mangut. Saya tak tahu pasti apa maknanya, setuju, paham, atau meragukan cerita saya. Yang jelas, tidak ada yang protes atau membantah cerita itu.
*Kembali ke Dharmasraya*
Dharmasraya sekarang bukanlah lagi sebuah kerajaan seperti dulu. Dharmasraya yang dikenal sekarang oleh generasi muda adalah sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Propinsi Sumatera Barat, berbatasan dengan Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Apakah Dharmasraya adalah penanda batas wilayah Minangkabau masa lalu, saya juga tak tau persis.
Dalam tambo ada disebutkan, batas itu adalah …. _“dari durian diakuak rajo sampai ka ombak nan badabua”_. Apakah “durian ditakuak rajo” ada di Dharmasraya atau lebih jauh dari itu? Biarlah para ahli sejarah yang mencari dan membuktikannya.
Kini, pada tanggal 7 Januari 2025, Dharmasraya sebagai kabupaten tepat berusia 21 tahun. Dalam rentang waktu itu, semua perangkat pemerintahan sudah terbentuk dan sudah berjalan seperti kabupaten-kabupaten lainnya di Sumatera Barat dan Indonesia umumnya.
Di saat awal-awal Kabupaten Dharmasraya dibentuk sebagai daerah otonomi baru, saya sempat mengunjunginya. Persisnya saat berkampanye sebagai calon Gubernur Sumatera Barat tahun 2005, dan beberapa kali pada saat menjabat gubernur. Namun sebagai daerah baru, saat itu saya belum melihat perubahan yang signifikan.
Setelah itu, cukup lama saya tak pernah lagi berkunjung ke Dharmasraya. Tiba-tiba dua tahun lalu ada teman yang mengajak saya ke Jakarta dengan menumpang kendaraan bus (pengalaman tersebut pernah saya tulis dalam sebuah media online), dan saat melintasi wilayah Dharmasraya, saya sungguh terkesima. Saya nyaris tak mengenal lagi bahwa itu adalah daerah Dharmasraya yang baru dimekarkan tahun 2004, karena semua sudah berubah. Bangunan-bangunan yang megah, cantik dan indah terdapat di berbagai tempat.
Kekaguman saya menjadi sempurna ketika meliwati jembatan Pulau Punjung yang sangat artistik. Saya teringat Golden Gate di Amerika, atau London Bridge (Inggris) dan jembatan Sidney Harbour yang menjadi ikon di semua kota dan negara masing-masing.
Jembatan kebanggaan Dharmasraya ini, saya kira patut di beri nama dengan nama yang menarik hingga dapat juga dipromosikan sebagai objek wisata yang menarik. Apalagi bila di sekitar jembatan ini dirancang dengan lanskap dalam suatu kawasan yang indah dan dilengkapi dengan tempat penginapan, kafe, taman-taman yang menarik dan berbagai fasilitas lainnya.
Karena tak berkesempatan mampir di Dharmasraya (maklum naik bus), rasa penasaran saya muncul untuk mengulangi perjalanan darat saya dari Jakarta ke Padang menggunakan kendaraan sendiri. Makanya, beberapa bulan kemudian, saya pulang ke Padang mengendarai mobil pribadi. Saya sengaja berhenti di Dharmasraya dan makan siang di Rumah Makan Aua Duri, di tepi jalan Trans Sumatera.
Begitu saya memasuki rumah makan tersebut, beberapa orang menyapa saya dan bertanya dari mana dan mau kemana. Sebagian saya lupa-lupa ingat orangnya dan sebagian tidak saya kenal. Saat akan membayar makan, kasir restoran mengatakan bahwa sudah ada yang membayar dan orangnya sudah pergi.
Saat di atas mobil, sopir saya yang orang Jawa-Sunda mengatakan, bahwa ia bertemu orang yang membayar makan siang tadi. Dia berpesan supaya hati hati menyopiri bapak. Alhamdulillah, ucap saya. Tentu saja saya tak lupa memuji orang Minang kepada sopir saya dengan sikap “malagak” bahwa begitulah adat Minang dengan baso basinya. Saya tak tahu persis, apakah sopir saya mengerti atau tidak.
*Selamat Ulang Tahun ke-21*
Lebih dari itu, saya menikmati kemajuan pembangunan Dharmasraya sejak di pimpin saudara Marlon, lalu dilanjutkan Adi Gunawan, dan sepuluh tahun terakhir yang luar biasa di bawah kepemimpinan Sutan Riska Tuanku Karajaan, seorang figur muda yang energik, pandai bergaul dengan semua orang, terbuka, pintar mencari dana dari pusat, bahkan secara pribadi dekat dengan Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri.
Sutan Riska pandai mencari uang dan mendapatkan proyek dari Pemerintah pusat. Hubungannya yang baik dengan banyak pejabat di pusat, dimanfaatkan untuk kemajuan Dharmasraya sehingga kini ibukotanya dan berbagai prasarana lainnya terlihat makin berkilau.
Sutan Riska yang saya kenal, adalah juga Ketua Asosiasi Pemerintahan Kabupaten seluruh Indonesia. Jabatan itu sekaligus membuktikan bahwa Sutan Riska adalah figur pemimpin yang bukan sekedar bersifat lokal, tapi sudah menasional karena dipercaya oleh ratusan bupati lainnya se-Indonesia untuk memimpin mereka.
Saya meyakini bahwa untuk menjadi hebat dan besar, kita tidak harus berada dekat dari ibu kota negara atau di Pulau Jawa, tapi dapat melalui prestasi, keberhasilan, atau dari pemikiran dan karya-karya besar yang bermanfaat bagi orang banyak. Dalam era kesejagatan atau dunia tanpa batas _(borderless world),_ hampir tak dikenal lagi di mana pusat dunia.
Kini di usia Dharmasraya tepat 21 tahun, daerah ini menyambut pelantikan bupati baru hasil Pilkada 27 November 2024. Dalam hitungan KPU, pemenangnya adalah Annisa Suci Ramadhani, anak mantan Bupati Dharmasraya juga dan Leli Arni, pensiunan birokrat pemerintahan berpengalaman dan pernah menjabat Sekda Dharmasraya.
Saya mengenal Annisa sejak dia masih bersekolah di tingkat SLTA. Kami sempat bersama sama ke Hongkong menemui Investor beberapa puluh tahun lalu bersama Bupati Dharmasraya saat itu, yaitu saudara Marlon. Tak terasa, tiba tiba Annisa yang dulu masih remaja, insya Allah akan dilantik sebagai Bupati Dharmasraya, berpasangan dengan Leli Arni. Tak lama lagi, di pundaknya akan terpasang tanda bintang dan di dadanya akan tergantung tanda jabatan sebagai simbol bahwa dia adalah pemimpin pemerintahan tertinggi daerah ini.
Menjemput momen pelantikan itu pula, saya berharap bahwa Annisa dan Leli, sejak awal-awal ini telah berniat sepenuh hati untuk memberikan pengabdian terbaiknya, ikhlas karena Allah, sehingga apa yang dikerjakan bernilai ibadah di sisi Allah serta menjadi kebanggaan masyarakat di daerahnya dan bahkan seluruh Indonesia. Harap dicatat, mereka berdua adalah wanita pertama di Sumatera Barat yang terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Barangkali perlu di ingat, bahwa masa pengabdian sebagai Kepala Daerah ada batasnya. Tapi menurut buya Hamka, orang besar adalah orang yang namanya lebih panjang dari usianya, apalagi jabatannya. Selamat Ulang Tahun ke-21 Kabupaten Dharmasraya. Semoga makin maju dan berkembang di masa datang.
Selamat memasuki purna tugas saya ucapkan kepada Sutan Riska, dan selamat mengabdi pada pilihan pengabdian baru. The leader never die. Teruslah berbuat, teruslah beramal, lahan pengabdian terbentang amatlah luas. Tak hanya menjadi Kepala Daerah.
Kepada Annisa dan Leli Arni, insya Allah bupati dan wakil bupati baru Dharmasraya, saya ucapkan selamat memulai pengabdian. Masyarakat menanti kiprah Anda berdua. Wassalam.*
_Dr. H. Gamawan Fauzi, S.H., M.M._ adalah pensiunan pamong pemerintahan, pernah menjabat Bupati Solok (1995-2005), Gubernur Sumatera Barat (2005-2009), dan Menteri Dalam Negeri RI (20092014). (Hasmi)